Marketing politik adalah tentang organisasi politik (seperti partai, parlemen,departemen2 pemerintahan)yang mengadopsi teknik (seperti riset pasar dan desainproduk) dan konsep (seperti memuaskan permintaan para pemilih/voters) yang sejatinya digunakan dalam dunia bisnis untuk membantu mereka mencapai tujuan (seperti memenangkan pemilu atau memperoleh kursi legislatif).
sumber: http://writepreneurs.com/pemasaran-politik-online-studi-kasus-website-cagub-dki/ |
Menurut O’Shaughnessy, seperti dikutip Firmanzah (2008), marketing politik berbeda dengan marketing komersial. Marketing politik bukanlah konsep untuk “menjual” partai politik (parpol) atau kandidat kepada pemilih, namun sebuah konsep yang menawarkan bagaimana sebuah parpol atau seorang kandidat dapat membuat program yang berhubungan dengan permasalahan aktual. Di samping itu, marketing politik merupakan sebuah teknik untuk memelihara hubungan dua arah dengan pubik.
Dari definisi tersebut terkandung pesan; Pertama, marketing politik dapat menjadi “teknik” dalam menawarkan dan mempromosikan parpol atau kandidat. Kedua, menjadikan pemilih sebagai subjek, bukan objek. Ketiga, menjadikan permasalahan yang dihadapi pemilih sebagai langkah awal dalam penyusunan program kerja. Keempat, marketing politik tidak menjamin sebuah kemenangan, tapi menyediakan tools untuk menjaga hubungan dengan pemilih sehingga dari hal itu akan terbangun kepercayaan yang kemudian diperoleh dukungan suara pemilih.
M. N. Clemente mendefinisikan marketing politik sebagai pemasaran ide-ide dan opini-opini yang berhubungan dengan isu-isu politik atau isu-isu mengenai kandidat. Secara umum, marketing politik dirancang untuk mempengaruhi suara pemilih di dalam pemilu.
Menurut A. O’Cass marketing politik adalah analisis, perencanaan, implementasi dan kontrol terhadap politik dan program-program pemilihan yang dirancang untuk menciptakan, membangun dan memelihara pertukaran hubungan yang menguntungkan antara partai dan pemilih demi tujuan untuk mencapai political marketers objectives.
Butler dan Collins mendefinisikan marketing politik sebagai “adaptasi” dari konsep dan teknik marketing komersial yang dilakukan oleh para aktor politik untuk mengorganisasi, mengimplementasi dan memanage aktivitas politik untuk mewujudkan tujuan politik.
Menurut Firmanzah, paradigma dari konsep marketing politik adalah; Pertama, Marketing politik lebih dari sekedar komunikasi politik. Kedua, Marketing politik diaplikasikan dalam seluruh proses, tidak hanya terbatas pada kampanye politik, namun juga mencakup bagaimana memformulasikan produk politik melalui pembangunan simbol, image, platform dan program yang ditawarkan. Ketiga, Marketing politik menggunakan konsep marketing secara luas yang meliputi teknik marketing, strategi marketing, teknik publikasi, penawaran ide dan program, desain produk, serta pemrosesan informasi. Keempat, Marketing politik melibatkan banyak disiplin ilmu, terutama sosiologi dan psikologi. Kelima, Marketing politik dapat diterapkan mulai dari pemilu hingga lobby politik di parlemen.
Lees-Marshment menekankan bahwa marketing politik berkonsentrasi pada hubungan antara produk politik sebuah organisasi dengan permintaan pasar. Pasar, dengan demikian, menjadi faktor penting dalam sukses implementasi marketing politik.
Philip Kotler dan Neil Kotler (1999) menyatakan bahwa untuk dapat sukses, seorang kandidat perlu memahami market atau pasar, yakni para pemilih, beserta kebutuhan dasar mereka serta aspirasi dan konstituensi yang ingin kandidat representasikan.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan marketing politik dalam penelitian ini adalah keseluruhan tujuan dan tindakan strategis dan taktis yang dilakukan oleh aktor politik untuk menawarkan dan menjual produk politik kepada kelompok-kelompok sasaran.
Dalam prosesnya, marketing politik tidak terbatas pada kegiatan kampanye politik menjelang pemilihan, namun juga mencakup even-even politik yang lebih luas dan -jika menyangkut politik pemerintahan- bersifat sustainable dalam rangka menawarkan atau menjual produk politik dan pembangunan simbol, citra, platform, dan program-program yang berhubungan dengan publik dan kebijakan politik.
Tujuan marketing dalam politik menurut Gunter Schweiger and Michaela Adami adalah;
(1) Untuk menanggulangi rintangan aksesibilitas;
(2) Memperluas pembagian pemilih;
(3) Meraih kelompok sasaran baru;
(4) Memperluas tingkat pengetahuan publik;
(5) Memperluas preferensi program partai atau kandidat;
(6) Memperluas kemauan dan maksud untuk memilih.
sumber: http://okedir.com/jasa-kampanye-online/jasa-kampanye-online-profesional-dan-terpercaya |
Pergeseran
Dunia Marketing ke Dunia Politik
Memahami
hal dasar tentang marketing adalah gambaran tentang sebuah era perkembangan
dunia ekonomi dimana terjadi perubahan-perubahan sistem ekonomi terutama
terjadinya peningkatan kompetisi dan sekaligus perubahan dinamika pasar dalam
kehidupan ekonomi. Marketing pada prinsipnya menyangkut hubungan relasi dan
aktivitas antara dua pihak dalam ruang kepentingan ekonomi. Bisa jadi dimensi
produsen dan konsumen ada dalam relasi pertukaran ini. Dalam logika
pertukaran ini, dua pihak yang berkepentingan, masing-masing akan memberi
peneguhan dan jaminan bahwa kepentingannya sendiri juga akan mendapatkan pemenuhan.
Maka masing-masing pula akan membangun mekanisme, cara, aturan dan bahkan
negosiasi untuk masing-masing saling menemukan pemahaman
dan deal kesepakatan yang sama. Marketing adalah hubungan dan
pertukaran. Relasi dan pertukaran inilah yang sebenarnya menjadi inti
dasar dari pemahaman tentang dunia ‘marketing’.
Ketika
sistem politik ekonomi memungkinkan semakin berkembangnya iklim persaingan,
maka nalar ‘marketing’ ini menjadi semakin relevan digunakan. Dalam sistem
kompetisi, yang terjadi adalah setiap pihak terutama ‘produsen’ akan berhadapan
bukan hanya dengan lawan pesaing yang makin banyak, tetapi juga pasar konsumen
yang kompleks. Mereka akan menghadapi konsumen yang telah memiliki preferensi
dan juga rujukan produk yang beragam sehingga membuka pilihan dan tuntutan yang
makin bervariasi dan luas. Tentu saja strategi marketing akan semakin
ditantang. Strategi yang tidak bisa menangkap tantangan tersebut tentu saja
akan kalah dan tergusur dalam dunia politik ekonomi. Dalam era kompetisi yang
makin menantang ini, tentu saja cara-cara marketing yang hanya mengedepankan
prinsip ‘transaksional’ semata akan ketinggalan zaman. Apa yang menjadi
kebutuhan para produsen tentu saja bagaimana bisa mempertahankan
posisibergaining dan relasi dengan konsumen dengan taktik strategi yang
sedemikian rupa dilakukan. Apa yang perlu dibangun dan dikembangkan adalah
marketing yang lebih berdimensi relasional. Dalam pemaparan tentang ini,
Firmanzah secar detail menjelaskan :
“Marketing
relasional bertujuan untuk lebih mempertahankan konsumen yang telah ada sambil
mencari konsumen baru. Hal ini dilakukan dengan menciptakan kepuasan konsumen
untuk membentuk loyalitas terhadap produk dan jasa yang dihasilkan. Dalam
marketing relasional, produsen perlu memikirkan cara dan metode untuk mempertahankan
konsumen. Selain itu, produsen harus benar-benar memahami karakteristik
konsumennya. Konsumen harus dilihat sebagai bagian penting dalam sistem
produksi dan tidak dianggap sebagai semata-mata pihak luar yang membeli produk
dan jasa mereka. Agar hubungan jangka panjang bisa terwujud, harus terdapat
mekanisme yang saling menguntungakan antara kedua belah pihak”.
sumber: http://innomax.info/kampanye-politik-edukasi/ |
Pengembangan
sistem marketing dalam dunia kompetisi akan memperkenalkan dengan apa yang
disebut sebagai ‘branding’. Pemahaman ‘brand’ bisa kita mengerti sebagai nama,
terminologi, simbol, atau logo spesifik atau juga kombinasi dari beberapa
elemen tersebut yang bisa digunakan sebagai identitas sebuah produk dan
jasa. Tentu saja setiap usaha marketing selalu akan mengarah pada penciptaan
‘brand equity’ atau penciptaan keunggulan brand. Sebenarnya jika kita
lihat dalam nalar logic yang dibangun oleh strategi ‘branding; ini
adalah keyakinan dan nilai pandangan yang sudah meyakini bahwa sistem
pengelolaan produk ternyata tidak hanya terletak pada ‘esensi produk’ itu
sendiri, tetapi bagaimana makna dan nilai yang dibangun dari produk tersebut.
Pada yang terakhir tentu saja penghargaan atas kepentingan konsumen menjadi
yang terutama. Sebaik apapun produk jika tidak mampu menjawab nilai, makna dan
loyalitas keyakinan bagi konsumen maka, ia akan gagal untuk bertahan dalam
kompetisi pasar. Sebaliknya seburuk apapun produk tetapi mampu memenuhi apa
yang menjadi nilai, makna dan loyalitas keyakinan bagi konsumen, tentu saja
akan bertahan dalam kompetisi pasar. Pada dunia politik ini kemudian berkembang
dalam fenomena ‘politik pencitraan’. Sebuah era tren politik yang lebih
mengedepankan kemasan daripada isi.
Nalar
filosofis tentang era pergeseran dan perkembangan dunia ekonomi saat ini juga
ternyata dalam banyak hal berlaku dalam dunia kehidupan politik. Dalam era
neoliberal ini, maka peluang lahirnya kompetisi politik dan kontestasi politik
yang lebih terbuka dan liberal benar-benar telah mendorong berbagai perubahan
dalam strategi politik. Kompetisi yang makin terbuka juga telah memaksa para
pelaku dan aktor politik baik individu maupun kelembagaan untuk membangun
strategi pemenangan politik dengan lebih maju. Cara yang banyak ditempuh saat
ini adalah memahaminya sebagai hal yang sama terjadi dalam dunia ekonomi. Salah
satu gambaran yang bisa membuktikan terjadinya perubahan tersebut adalah dengan
lahirnya berbagai kembagaan profesional baru yang ikut menyediakan jasa untuk
proyek kepentingan politik seperti biro iklan politik, biro konsultan politik sampai
agen pemenangan kandidat tertentu dalam pemilu.
Dalam
perkembangan selanjutnya kita akan banyak mengenal bagaimana lembaga-lembaga
dan agen-agen ini bekerja dan melibatkan diri dalam kepentingan kontestasi
politik. Beberapa contoh bisa disebutkan seperti berkontribusi pada partai
politik dalam cara mengemas pesan politik yang berbentuk iklan, sosialisasi dan
mentransfer pesan politik ke publik, dan juga keterlibatan dalam
kerja-kerja posittioning partai terhadap partai yang lain, melakukan
riset-riset tentang pemilih dan yang lainnnya. Dengan sistem marketing politik
ini pula maka bisa membantu tentang riset dampak berbagai debat politik,
kampanye politik dan penggunaan media-media tertentu dalam usaha pemenangan
suara di pemilu.
Dalam
membangun dan menciptakan strategi ‘marketing politik’, beberapa pemikir dan
penulis menjelaskan beberapa point penting yang menjadi karakteristik
dari strategi tersebut. Pemikir seperti O’Shaughnessy (2001) menekankan bahwa
prinsip ‘marketing politik’ berbeda dengan ‘marketing komersial’. Marketing
politik dalam pengertiannya tidak merupakan cara untuk menjual partai politik
atau kandidat presiden tetapi merupakan cara untuk menawarkan bagaimana sebuah
partai politik atau kontestan bisa membuat program yang berhubungan dengan
permasalahan aktual. Lees-Marshmant (2001) menekankan bahwa ‘marketing
politik’ harus dipahami lebih komprehensif. Ada beberapa prinsip yang
ditekankan yakni :
1.
Marketing politik
lebih dari sekadar komunikasi politik;
2.
Marketing politik
diaplikasikan dalam seluruh proses organisasi partai politik;
3.
Marketing politik
menggunakan konsep marketing secara lebih luas, tidak hanya pada teknik
marketing tetapi strategi marketing dari teknik publikasi, menawarkan ide dan
program, serta desain produk sampai ke marketintelligent dan pemrosesan
informasi;
4.
Marketing politik
banyak melibatkan disiplin ilmu dalam pembahasannnya, seperti sosiologi dan
psikologi;
5.
Konsep marketing
politik bisa diterapkan dalam berbagai situasi politik, mulai dari pemilihan
umum sampai ke proses lobi di parlemen.
Iklan
Kampanye
Iklan
kampanye (campaign advertising) adalah tindakan spesifik dirancang untuk
mengiklankan sebuah aktivitas politik atau pemilu dengan mempekerjakan
sekelompok profesional umumnya terdiri dari konsultan politik dan staf kampanye
yang dilakukan, disengaja, dikoordinasikan secara hati-hati dan kemudian
dipublikasikan dalam rangkaian alat publikasi seperti penggunaan media yang
dibayar (surat khabar, radio, televisi, dan lain lain) agar dapat menjangkau
target audiens agar berdampak memberikan pengaruh terhadap hasil keputusan
publik merupakan tujuan akhir dari setiap iklan kampanye.
sumber: http://webandikamongilala.wordpress.com/2010/09/06/teori-marketing-politik/ |
Marketing Politik Jokowi
sumber: http://www.merdeka.com/jakarta/dituding-money-politics-jokowi-ahok-membantah.html |
Kemenangan Jokowi-Ahok putaran pertama Pilkada DKI tak bisa terlepas dari marketing politik. Artinya, kemenangan Jokowi-Ahok adalah kemenangan marketing politik karenaberhasil membentuk pelbagai makna politis dalam pikiran para pemilih, menjadi oreantasi perilaku yang akan mengarahkan pemilih untuk memilih kontestan tertentu. Maknapolitis inilah yang menjadi output penting marketing politik, menentukan pihak mana yang akan di coblos para pemilih di bilik suara.
Rahasia kemenangan Jokowi-Ahok putaran pertama Pilkada DKI dapat dianalisis melalui marketing politik. Elemen dari marketing politik terdiri dari;person, policy, party dan pull marketing. Pertama, figur (person) atau ketokohan kandidat yang bertarung dalam Pilkada, kualitas (person) dapat dilihat dari dimensi kualitas instrumental, dimensi ’simbolis’ dan ”fenotipe optis”.
Pasangan calon gubernur Jokowi-Ahok telah mampu mengelola semua elemen (person) dengan baik, contoh dimensi simbolis adalahbaju kotak-kotak merupakan keberhasilan Jokowi dalam membangun ‘branding’ dan ‘trend’ sebagai simbol kerakyatan, kesederhanaan dan berbicara apa adanya, termasuk membangun simbol figur dengan mendukung mobil nasional Esemka semakin menguatkannya menjadi pemimpin yang punya narasi, visioner dan kapasitas.Keberhasilan pencitraan melalui simbol ”positioning”, membentuk serangkain makna figur (person) Jokowi.
Yang menariknya lagi ketika Jokowi naik Metro Mini atau odong-odong, kelihatan berjalan alamiah. Sifat fenotipe optis, seperti yang muncul dari individu Jokowi yaitu sifat merakyat, efek refleks tanpa dibuat-buat dan sudah menjaditrah jiwanya. Jokowi mengirim pesan, kemudian pesan diterima oleh masyarakat dengan antusias dan empati. Lain halnya ketika Foke naik Kopaja terlihat biasa-biasa saja bagi masyarakat, kerena tak ada kesan karena cenderung terlihat dipaksakan, narasi Foke naik Kopaja berbeda aura dan pesan yang diterima rakyat.Fenotipe optis potensi ini yang dimaksimalkan oleh Jokowi.
Kedua,program kerja (policy). Rahasia kemenangan Jokowi-Ahok tak terlepas pelbagai pencitraan melalui keberhasilan program kerja yang mampu menyakinkan pemilih, sukses menjadi Walikota Solo dan dominasi Walikota terbaik dunia oleh “The City Mayor Foundation 2012,kebanggaan rakyat Solo dibuktikan terpilih untuk kedua kali. Program kerja di dalamnya terdapat kebijakan yang ditawarkan kepada kontestan jika terpilih nanti dan sudah dibuktikan selama menjadi pemimpin sebelumnya, termasuk menyakinkan solusi terhadap sebuah persoalan yang ada di depan mata masyarakat Jakarta seperti banjir, macet, kemiskinan dan kriminalitas yang dikelola secara professional. Program kerja (policy) menawarkan kepada kontestan dengan pesan, membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, sekedar mencontohkan ”Jakarta Baru”. Keberhasilan output (policy) adalah pemilih tak mengubah pilihannya sampai pada hari pencoblosan dibilik suara.
Ketiga,mesin partai (party), kekuatan mesin partai politik relatif tak terlalu dominan pengaruhnya terhadap kemenangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama, namun yang lebih dominan cenderung figur (person) Jokowi. Mesin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya berjalan pada Pilkada DKI putaran pertama namun kenapa Hidayat Nur Wahid (HNW) kalah. HNW hanya dikenal pada tataran elite dan kader partai, apalagi setelah menjadi ketua MPR nama HNW tak muncul alias menghilang, walaupun HNW figur yang sederhana dan bersih. Artinya kekuatan mesin partai tanpa figur (person) sulit untuk memenangkan Pilkada. Fenomena Faisal-Biem (indevenden) mengalahkan suara Alex Nono yang didukung partai sekaliber Golkar dan 11 Partai lainnya, sebab figur (person) Faisal relatif lebih kuat. Itu artinya, mesin partai yang banyak dan kuat ternyata implikasinya juga tak terlalu signifikan lantas menang dalam Pilkada.
Keempat,iklan (pull marketing) adalah penyampaian produk politik dengan memanfaatkan instrumen media massa, media elektronik, spanduk dan baliho. Iklan yang massif di media televisi ditambah lagi dengan spanduk dan baliho yang hampir ada dimana-mana tak lantas membuat menang dalam Pilkada DKI. Perhatikan pasangan Hidayat-Didik, Alex-Nono, dan Foke-Nara hampir setiap dinding dan tiang listrik tak absen foto kandidat tersebut. Berbeda sekali dengan Jokowi-Ahok yang relatif lebih sedikit fotonya lewat poster, spanduk dan baliho yang terpasang sudut-sudut kota Metropolitan, namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Jokowi-Ahok bisa unggul putaran pertama Pilkada Gubernur DKI Jakarta? Ternyata spanduk dan poster kandidat yang terlalu banyak sehingga mengotori kota Jakarta relatif tak efektif, justru menimbulkan pesan tak empati. Nampak-nampaknya dari empat elemen marketing politik tersebut yang punya efek dominan pengaruhnya dalam kemenangan Pilkada adalah efek figur (person), itulah yang dimiliki Jokowi.
Rahasia kemenangan Jokowi-Ahok putaran pertama Pilkada DKI dapat dianalisis melalui marketing politik. Elemen dari marketing politik terdiri dari;person, policy, party dan pull marketing. Pertama, figur (person) atau ketokohan kandidat yang bertarung dalam Pilkada, kualitas (person) dapat dilihat dari dimensi kualitas instrumental, dimensi ’simbolis’ dan ”fenotipe optis”.
Pasangan calon gubernur Jokowi-Ahok telah mampu mengelola semua elemen (person) dengan baik, contoh dimensi simbolis adalahbaju kotak-kotak merupakan keberhasilan Jokowi dalam membangun ‘branding’ dan ‘trend’ sebagai simbol kerakyatan, kesederhanaan dan berbicara apa adanya, termasuk membangun simbol figur dengan mendukung mobil nasional Esemka semakin menguatkannya menjadi pemimpin yang punya narasi, visioner dan kapasitas.Keberhasilan pencitraan melalui simbol ”positioning”, membentuk serangkain makna figur (person) Jokowi.
Yang menariknya lagi ketika Jokowi naik Metro Mini atau odong-odong, kelihatan berjalan alamiah. Sifat fenotipe optis, seperti yang muncul dari individu Jokowi yaitu sifat merakyat, efek refleks tanpa dibuat-buat dan sudah menjaditrah jiwanya. Jokowi mengirim pesan, kemudian pesan diterima oleh masyarakat dengan antusias dan empati. Lain halnya ketika Foke naik Kopaja terlihat biasa-biasa saja bagi masyarakat, kerena tak ada kesan karena cenderung terlihat dipaksakan, narasi Foke naik Kopaja berbeda aura dan pesan yang diterima rakyat.Fenotipe optis potensi ini yang dimaksimalkan oleh Jokowi.
Kedua,program kerja (policy). Rahasia kemenangan Jokowi-Ahok tak terlepas pelbagai pencitraan melalui keberhasilan program kerja yang mampu menyakinkan pemilih, sukses menjadi Walikota Solo dan dominasi Walikota terbaik dunia oleh “The City Mayor Foundation 2012,kebanggaan rakyat Solo dibuktikan terpilih untuk kedua kali. Program kerja di dalamnya terdapat kebijakan yang ditawarkan kepada kontestan jika terpilih nanti dan sudah dibuktikan selama menjadi pemimpin sebelumnya, termasuk menyakinkan solusi terhadap sebuah persoalan yang ada di depan mata masyarakat Jakarta seperti banjir, macet, kemiskinan dan kriminalitas yang dikelola secara professional. Program kerja (policy) menawarkan kepada kontestan dengan pesan, membawa masyarakat ke arah yang lebih baik, sekedar mencontohkan ”Jakarta Baru”. Keberhasilan output (policy) adalah pemilih tak mengubah pilihannya sampai pada hari pencoblosan dibilik suara.
Ketiga,mesin partai (party), kekuatan mesin partai politik relatif tak terlalu dominan pengaruhnya terhadap kemenangan Jokowi-Ahok pada putaran pertama, namun yang lebih dominan cenderung figur (person) Jokowi. Mesin Partai Keadilan Sejahtera (PKS) misalnya berjalan pada Pilkada DKI putaran pertama namun kenapa Hidayat Nur Wahid (HNW) kalah. HNW hanya dikenal pada tataran elite dan kader partai, apalagi setelah menjadi ketua MPR nama HNW tak muncul alias menghilang, walaupun HNW figur yang sederhana dan bersih. Artinya kekuatan mesin partai tanpa figur (person) sulit untuk memenangkan Pilkada. Fenomena Faisal-Biem (indevenden) mengalahkan suara Alex Nono yang didukung partai sekaliber Golkar dan 11 Partai lainnya, sebab figur (person) Faisal relatif lebih kuat. Itu artinya, mesin partai yang banyak dan kuat ternyata implikasinya juga tak terlalu signifikan lantas menang dalam Pilkada.
Keempat,iklan (pull marketing) adalah penyampaian produk politik dengan memanfaatkan instrumen media massa, media elektronik, spanduk dan baliho. Iklan yang massif di media televisi ditambah lagi dengan spanduk dan baliho yang hampir ada dimana-mana tak lantas membuat menang dalam Pilkada DKI. Perhatikan pasangan Hidayat-Didik, Alex-Nono, dan Foke-Nara hampir setiap dinding dan tiang listrik tak absen foto kandidat tersebut. Berbeda sekali dengan Jokowi-Ahok yang relatif lebih sedikit fotonya lewat poster, spanduk dan baliho yang terpasang sudut-sudut kota Metropolitan, namun yang menjadi pertanyaan adalah mengapa Jokowi-Ahok bisa unggul putaran pertama Pilkada Gubernur DKI Jakarta? Ternyata spanduk dan poster kandidat yang terlalu banyak sehingga mengotori kota Jakarta relatif tak efektif, justru menimbulkan pesan tak empati. Nampak-nampaknya dari empat elemen marketing politik tersebut yang punya efek dominan pengaruhnya dalam kemenangan Pilkada adalah efek figur (person), itulah yang dimiliki Jokowi.