Komisi Penyiaran Indonesia
Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah sebuah lembaga independen di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi sebagai regulator penyelenggaraan penyiaran di Indonesia. Komisi ini berdiri sejak tahun 2002 berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran. KPI terdiri atas Lembaga Komisi Penyiaran Indonesia Pusat ( KPI Pusat ) dan Komisi Penyiaran Indonesia Daerah ( KPID ) yang bekerja di wilayah setingkat Provinsi, untuk KPID DKI Jakarta terletak di Jln. Suryapranoto. Wewenang dan lingkup tugas Komisi Penyiaran meliputi pengaturan penyiaran yang diselenggarakan oleh Lembaga Penyiaran Publik, Lembaga Penyiaran Swasta, dan Lembaga Penyiaran Komunitas. Saat ini Komisi Penyiaran Indonesia diketuai oleh Sasa Djuarsa Sendjaja.
Undang-undang Penyiaran
Dalam pembuatan undang – udang memiliki beberapa tahapan terlebih dahulu yakni , dibuatlah rancangan undang – undang. Rancangan ini tentu tidak boleh bertentangan dengan hukum yang berada di atasnya yakni undang – undang dasar dan juga pancasila. Setelah ruu dibuat selanjutnya ruu ini diajukan kepada dewan perwakilan rakyat dan presiden. Setelah melelui perimbangan undang undang secara sosiologis , yuridis , dan filosofis maka dewan perwakilan rakyat dan presiden menyetujui ruu dan selanjutnya ruu tersebut di tanda tangani oleh presiden dan diundangkan oleh menteri terkait.
Menurut undang undang penyiaran, yang memberikan hak / ijin penyiaran adalah pemerintah bersama komisi penyiaran indonesia. Tetapi seiring berjalannya waktu, yang memberi ijin penyiaran adalah pemerintah. Ijin penyiaran untuk radio dan televisi berbeda, untuk ijin penyiaran radio yaitu lima tahun sedangkan untuk ijin penyiaran televisi adalah sepuluh tahun. Pemerintah bersama kpi melarang untuk memperjualbelikan atau dipindahtangankan ijin tersebut, hal tersebut dilakukan agar tidak adanya monopoli dalam kepemilikan hak penyiaran.
Kpi juga mengatur periklanan dalam penyiaran serta isi yang akan disiarkan. Isi siaran menyangkut periklanan harus diatur agar terjadi keseimbangan waktu siaran dengan iklan yang ditayangkan. Isi siaran pun diatur dalam undang – undang.
Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 merupakan dasar utama bagi pembentukan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). UU ini di buat agar tujuan penyiaran sebagaimana dinyatakan dalam pasal 3 UU Penyiaran 2002, dapat diwujudkan, seperti, memperkukuh integrasi nasional, terbinanya watak dan jati diri bangsa yang beriman dan bertakwa, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan umum, dalam rangka membangun masyarakat yang mandiri, demokratis, adil dan sejahtera. Contohnya dalam adegan – adegan siaran pun diatur, seperti tidak boleh adanya kekerasan baik kekerasan verbal maupun kekerasan non verbal, seperti pada kasus Olga Syahputra dalam acaranya yaitu PESBUKERS yang diduga mengeluarkan kata-kata yang kurang pantas terhadap Febby Karina yang sedang syuting acara tersebut. Selain itu adegan ciuman pun di atur di dalam p3sps (pedoman perilaku penyiaran dan standar program siaran) bahwa adegan ciuman hanya diperbolehkan di dalam acara pernikahan.
Foto Olga dan Febby (baju biru) dalam acara Pesbukers |
Sumber: http://medianya.com/1355/kronologis-kasus-olga-vs-dokter-febby-karina-di-acara-pesbukers-2013/#
Seandainya jika ditemukan ada pelanggaran dilakukan lembaga penyiaran terhadap Standar dan Pedoman ini, UU sebenarnya memberikan wewenang bagi KPI untuk mencabut izin siaran lembaga bersangkutan, setelah adanya keputusan pengadilan yang tetap. Namun KPI menetapkan bahwa dalam kasus ditemukannya pelanggaran, sebelum tiba pada tahap pencabutan izin, KPI akan mengikuti tahap-tahap sanksi seperti, teguran tertulis, penghentian sementara mata acara yang bermasalah, pembatasan durasi dan waktu siaran, denda administrative, pembekuan kegiatan siaran lembaga penyiaran untuk waktu tertentu, penolakan untuk perpanjangan izin, pencabutan izin penyelenggaran penyiaran, seperti pada kasus pencabutan izin stasiun TV Arab, Al-Jazeera dan 9 stasiun TV lainnya yang dianggap mendorong kekerasan dan sektarianisme.
Al Jazeera mengatakan punya sejarah yang panjang di Irak dan meliput dari semua pihak. |
Dalam hal program bermasalah yang disiarkan secara bersama oleh sejumlah lembaga penyiaran yang bergabung dalam jaringan lembaga penyiaran, tanggungjawab harus diemban bersama oleh seluruh lembaga penyiaran yang menyiarkan program bermasalah tersebut.
Perkembangan UU Penyiaran
Dewasa ini, perkembangan zaman dan teknologi semakin pesat dan maju. Maka konten penyiaran baik televisi maupun radio juga mengalami perubahan. Hal ini mendorong adanya revisi pada UU Penyiaran mengingat kedua media massa tersebut merupakan media yang paling banyak dan hampir setiap hari dikonsumsi oleh masyrakat. UU yang direvisi ini diharapkan dapat memberi dampak langsung yang positif terhadap masyarakat terkait dengan konten atau isi yang disajikan oleh media penyiaran.
Berbicara mengenai perkembangan zaman, maka kita juga berbicara tentang perkembangan teknologi. Dewasa ini, digitalisasi penyiaran bukan merupakan hal yang asing lagi. Berbagai kelebihan ditawarkan oleh teknologi ini, mulai dari suara yang jernih, gambar yang bening, sampai pada tersedianya banyak kanal untuk menyalurkan siaran televisi. Namun demikian, sejumlah permasalahan pun muncul. Mulai dari yang sederhana berupa pengaturan kanal yang jumlahnya jauh lebih besar, sampai yang paling rumit yakni mengatur penyedia jaringan (network provider) dan penyedia konten siaran (content provider) yang akan turut bermain meramaikan dunia penyiaran tanah air. Tidak kalah pelik, adalah memikirkan bagaimana nasib para penyelenggara siaran televisi komunitas yang mungkin akan terseok-seok untuk ikut bermigrasi ke TV digital. Padahal kehadiran televisi komunitas dipandang penting untuk menjamin demokratisasi penyiaran, khususnya dari sisi keberagaman isi (diversity of content). Semua ini masih belum diatur oleh UU Penyiaran No. 32 tahun 2002.
Dalam hal ini, ada 4 poin utama yang menjadi alasan dilakukannya revisi UU Penyiaran. Alasan pertama terkait dengan perkembangan zaman, kedua terkait dengan perkembangan teknologi, ketiga terkait dengan penegasan kembali agar tidak menjadi multitafsir dan terakhir adalah pemberian kewenangan baru. Namun, revisi itu banyak mengundang pro dan kontra di kalangan pemerintahan dan masyarakat.
Sekalipun dilanda pro dan kontra, namun revisi UU Penyiaran ini pun tetap berjalan. Tentu diharapkan revisi UU Penyiaran dapat membantu menjelaskan dua isu strategis ini. Semangat untuk tetap mengusung demokratisasi penyiaran harus tetap ada dalam proses revisi yang diprediksi sarat akan tarik-menarik kepentingan. Bagaimanapun dunia penyiaran tetap akan berpengaruh besar pada kehidupan masyarakat banyak karena ranah publik yang digunakannya. Oleh karenanya, masyarakat sebagai publik diharapkan mengawal semua perkembangan ini sehingga proses revisi tetap memperhatikan kepentingan publik yang luas. Masyarakat tidak perlu kaget apabila UU Penyiaran versi revisi ini akhirnya disahkan karena luput dari pencermatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar